Beranda | Artikel
Hadits Arbain ke 18 - Hadits Tentang Takwa
Selasa, 9 Juni 2020

Bersama Pemateri :
Ustadz Anas Burhanuddin

Hadits Arbain ke 18 – Hadits Tentang Takwa merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Anas Burhanuddin, M.A. dalam pembahasan Al-Arba’in An-Nawawiyah (الأربعون النووية) atau kitab Hadits Arbain Nawawi Karya Imam Nawawi Rahimahullahu Ta’ala. Kajian ini disampaikan pada Selasa, 17 Syawwal 1441 H / 09 Juni 2020 M.

Status Program Kajian Kitab Hadits Arbain Nawawi

Status program kajian Hadits Arbain Nawawi: AKTIF. Mari simak program kajian ilmiah ini di Radio Rodja 756AM dan Rodja TV setiap Selasa sore pekan ke-2 dan pekan ke-4, pukul 16:30 - 18:00 WIB.

Download juga kajian sebelumnya: Hadits Arbain ke 17 – Hadits Berbuat Baik Kepada Segala Sesuatu

Kajian Hadits Arbain ke 18 – Hadits Tentang Takwa

Hari ini kita akan mempelajari hadits selanjutnya, hadits nomor 18 dari rangkaian Arbain Nawawiyah yaitu hadits Muadz bin Jabal dan Abu Dzar Al-Ghifari Radhiyallahu ‘Anhuma. Imam An-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala mengatakan:

عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ جُنْدُبِ بنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ) رَوَاهُ التِّرْمِذِي وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ. وَفِي بَعْضِ النُّسَخِ: حَسَنٌ صَحِيْحٌ.

“Diriwayatkan dari Abu Dzar Jundub bin Junadah Al-Ghifari dan Abu Abdirrahman Muadz bin Jabal Al-Anshari bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‘Bertakwalah kepada Allah dimanapun engkau berada dan ikutilah keburukan dengan kebaikan niscaya kebaikan akan menghapuskan keburukan sebelumnya dan pergaulilah manusia dengan pergaulan yang baik.`” (HR. Tirmidzi dan beliau mengatakan hadits hasan dan dalam sebagian cetakan sunan Tirmidzi disebutkan hasan shahih)

Ini adalah sebuah hadits yang agung, sebuah hadits yang pendek tapi maknanya luas dan dalam. Sebuah hadits yang pendek tapi mengandung tiga potongan:

  1. potongan yang pertama terkait dengan hubungan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
  2. bagaimana kita mengobati diri kita sendiri, terkait dengan hubungan kita dengan diri kita sendiri,
  3. terkait dengan hubungan kita dengan sesama manusia.

Lengkap, semuanya dibahas oleh hadits yang agung ini.

Derajat Hadits Arbain ke 18 – Hadits Tentang Takwa

Hadits ini dirriwayatkan oleh At-Tirmidzi Rahimahullahu Ta’ala dan beliau mengatakan haditsnya adalah hadits hasan. Hasan itu levelnya sedikit di bawah shaih, tapi masih layak untuk dipakai berhujjah. Termasuk kategori hadits sahih juga. Kalau kita memakai istilah shahih secara global maka hadits hasan termasuk hadits shahih dan bahkan di sebagian copy dari manuskrip sunan Tirmidzi disebutkan hadits ini hasan shahih. Jadi sebagian jalannya hasan dan sebagian jalannya shahih. Maka ini adalah hadits yang kuat, hadits yang layak untuk kita jadikan hujjah.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi Rahimahullahu Ta’ala dari dua orang sahabat. Yang pertama adalah:

Abu Dzar Al-Ghifari

Abu Dzar (kunyah) Al-Ghifari (gelar). Ini adalah Nama kunyah dan gelar beliau. Sedangkan nama beliau adalah Jundub bin Junadah. Beliau adalah salah seorang As-Sabiqunal Awwalun (orang yang pertama kali masuk Islam) di Mekah, termasuk orang yang pertama kali berterus terang dengan keislamannya di Mekah. Dan beliau disebut sebagai orang yang ke-5 atau yang ke-6 yang pertama kali masuk Islam. Dan beliau wafat pada tahun 32 Hijriyah.

Muadz bin Jabal

Sahabat yang kedua adalah Abu Abdirrahman, ini kunyah beliau. Nama beliau adalah Muadz bin Jabal Al-Anshari. Dia adalah salah satu sahabat yang mulia, beliau termasuk salah satu sahabat yang paling faqih, yang paling paham halal dan haram dalam agama kita. Dan karenanya diutus oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ke Mekah untuk mengajari penduduk Mekah Al-Qur’an dan hukum-hukum Islam. Juga pernah diutus oleh beliau ke Yaman untuk berdakwah, menjelaskan Islam kepada penduduk Yaman. Dan beliau wafat pada tahun 18 Hijriyah, Radhiyallahu ‘Anhuma.

Kedua sahabat ini meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hadits yang agung ini: “Bertakwalah kepada Allah dimanapun engkau berada, ikutilah yang buruk dengan kebaikan niscaya yang baik akan menghapuskan yang buruk dan pergaulilah manusia dengan pergaulan yang baik.”

Bertakwalah kepada Allah dimanapun engkau berada

Potongan pertama dari hadits ini adalah:

اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا

“Bertakwalah kepada Allah dimanapun engkau berada.”

Kita diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Apa itu takwa?

Takwa secara bahasa berasal dari kata dasarnya adalah اتَّقَى- يَتَّقِىْ yang artinya mencari perlindungan. Contohnya adalah memakai sendal, itu disebut dalam bahasa Arab sebagai اتَّقَى- يَتَّقِىْ. Kenapa? Karena dengan memakai sendal kita melindungi diri kita dari bahaya, dari gangguan di jalan, dari basahnya dan beceknya tanah yang kita injak atau dari panasnya aspal yang kita lewati. Ketika kita memakai sendal maka kita telah membuat penghalang antara  kaki kita dengan sesuatu yang kita khawatirkan merusak atau menyakiti kaki kita. Berarti kita bertakwa.

Contoh yang lainnya adalah ketika kita memasang genting atau yang semacamnya sebagai penutup rumah yang sedang kita bangun. Dengan begitu kita sedang menghalangi diri kita dari panas dan hujan. Maka itu berarti bertakwa. Karena kita sedang melindungi diri kita.

Demikian juga dalam agama kita. Secara istilah, bertakwa artinya adalah membuat penghalang antara diri kita dengan sesuatu yang kita takuti. Bertakwa kepada Allah artinya adalah menjadikan penghalang antara diri kita dengan murka dan adzabNya. Kita membuat penghalang yang bisa menghalangi diri kita dari murka dan adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala, itu namanya bertakwa. Jadi ada hubungan antara arti bahasa dengan arti istilah.

Maka ketika dikatakan: “Bertakwalah kepada Allah”, artinya adalah buatlah penghalang antara dirimu dengan murka dan adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini arti dari bertakwa.

Kemudian para ulama menjelaskan bagaimana caranya agar kita terhalang dari murka dan adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala, dari neraka dan adzabNya? Caranya adalah dengan menjalankan perintah-perintah Allah semampu kita dan meninggalkan semua laranganNya. Apa yang diperintahkan kita laksanakan dan apa yang dilarang kita hindari dan kita tinggalkan, maka itulah cara kita agar bisa terlindung dari murka dan adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Talq bin Habib Rahimahullahu Ta’ala mengatakan bahwa bertakwa adalah:

أن تعمل بطاعة الله، على نور من الله، ترجو ثواب الله، وأن تترك معصية الله، على نور من الله ، تخافو عذاب الله

Melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas dasar cahaya (ilmu) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan maksud mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita menjalankan perintah-perintahNya atas dasar ilmu dengan harapan kita tidak bisa mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga menghindari maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas dasar cahaya (ilmu) dari Allah juga karena kita takut dari adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sementara Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu mengatakan ketika beliau menafsirkan ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّـهَ حَقَّ تُقَاتِهِ…

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa...” (QS. Ali-Imran[3]: 102)

Ibnu Mas’ud menafsirkan ayat ini dengan mengatakan:

أن يطاع فلا يعصى ، وأن يذكر فلا ينسى ، وأن يشكر فلا يكفر

Bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benar takwa adalah mentaatiNya sehingga kita tidak berbuat maksiat kepadaNya, tidak menentangNya, tidak membangkang kepadaNya, tapi kita mentaati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian mengingat Allah dan tidak melupakanNya, kita terus dzikir, selalu ingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak melupakanNya. Juga selalu bersyukur kepada Allah dan tidak kufur kepadaNya.

Ini diantara beberapa definisi takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang disebutkan oleh para ulama.

Bertakwa kepada Allah dalam semua kondisi

Dan dalam hadits ini Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menekankan kepada kita untuk bertakwa kepada Allah di manapun kita berada. Jadi bertakwa kepada Allah dalam semua kondisi kita. Baik dalam keadaan susah maupun senang, dalam keadaan bahagia maupun sedih, kita harus bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam keadaan bahagia kita bertakwa kepada Allah, dalam keadaan sedih pun kita harus bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak boleh untuk mengeluarkan kata-kata yang buruk, tidak boleh melakukan aksi-aksi yang dilarang seperti menangis meraung-raung, merobek-robek baju, memukul-mukul wajah saat kita sedang sedih.

Juga bertakwa kepada Allah saat kita sedang marah. Saat kita sedang tidak suka, sedang emosi. Makanya diantara doa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah meminta kepada Allah agar diberikan taufik untuk bisa mengucapkan kata-kata yang haq saat sedang marah. Ini semuanya adalah wujud dari takwa kepada Allah dalam semua kondisi.

Bertakwa dalam semua waktu

Juga dalam semua zaman atau waktu. Di siang dan malam hari kita bertakwa kepada Allah Subhanahuwa Ta’ala, dimasa muda dan tua, tidak ada batasannya, terus kita bertakwa kepada Allah, beribadah kepadaNya, tidak bermaksiat kepadaNya sampai kita dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman Allah:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ ﴿٩٩﴾

Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu kematian.” (QS. Al-Hijr[15]: 99)

Maka kita dituntut untuk terus beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak bermaksiat kepadaNya dalam semua waktu kita.

Juga di manapun kita berada:

اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ

“Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada.” Di desa, di kota, di dalam negeri maupun di luar negeri. Baik dalam keadaan ramai maupun dalam keadaan menyendiri, kita terus bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik di masjid ketika dilihat orang maupun juga saat kita sedang menyendiri. Dan ini adalah sesuatu yang tidak mudah. Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah mengatakan:

أعز الأشياء ثلاثة

“Hal yang paling jarang adalah tiga hal”

Yang pertama:

الجود من قلة

“Tetap murah hati (dermawan) saat kita sedang susah dan tidak memiliki banyak harta.”

Harta saat banyak, maka akan lebih mudah kalau kita bersedekah dan berderma. Tapi tetap berderma dan tetap murah hati saat harta kita sedang menyusut, saat bisnis kita sedang tidak lancar, saat kita sedang tertimpa musibah, maka ini adalah sesuatu yang lebih sulit.

Kemudian yang kedua adalah:

والورع في خلوة

“Wara’ kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saat kita sedang menyendiri.”

Adapun bertakwa saat kita sedang di masjid atau saat ada banyak orang tentu itu lebih mudah. Tapi bertakwa kepada Allah saat kita sedang menyendiri di kamar kita, tidak ada yang melihat kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala saja, maka ini tidak mudah, ini sangat sulit.

Juga yang ketiga adalah:

و كلمة الحق عند من يُرجَي أو يُخَاف

“Mengucapkan kaliamat haq saat kita sedang berada di depan orang yang kita takuti atau kita harapkan.”

Jadi ada seseorang yang sedang kita takut kalau sampai salah ngomong, mungkin dia akan mendzalimi kita atau dia akan menyiksa kita, maka di sini kita diuji apakah bisa mengucapkan kata-kata haq, tetap mengatakan apa adanya, jujur. Atau di depan orang yang sedang kita harapkan, kita punya harapan pada dirinya yang seandainya kalau salah ngomong maka harapan itu tidak akan terwujud. Maka ini adalah tiga perkara yang paling sulit dan paling jarang menurut Imam Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala.

Simak penjelasan selanjutnya pada menit ke-18:58

Download mp3 Kajian Hadits Arbain ke 18 – Hadits Tentang Takwa

Lihat juga: Hadits Arbain Ke 1 – Innamal A’malu Binniyat


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48544-hadits-arbain-ke-18-hadits-tentang-takwa/